Sabtu, 27 April 2013



Pemikiran Zainuddin labay al yunusi
dalam pendidikan Diniyah Putra Padang Panjang
Dalam bidang pendidikan beliau termasuk orang pertama yang memperkenalkan sistem sekolah yang baru. Dengan membuka sekolah guru Diniyah (1915) beliau mempergunakan sistem berkelas dengan kurikulum yang lebih teratur. Beliau mendirikan Diniyah School, yang merupakan madrasah sore untuk pendidikan agama yang diorganisasikan berdasarkan sistem klasikal dan tidak mengikuti sistem pengajaran tradisional yang individual. Begitu pula susunan pelajarannya berbeda dengan yang lain, yaitu dimulai dengan pengetahuan dasar bahasa Arab sebelum memulai membaca al-Qur’an.
 Materi yang ditawarkan bukan hanya ilmu agama, tetapi juga ilmu umum sebagaimana yang diajarkan dilembaga pendidikan governement, seperti bahasa asing, ilmu bumi, sejarah dan matematika. Beliau juga mengorganisir sebuah klub musik untuk murid-muridnya. Selan itu, murid-murid Diniyah School pada umumnya diseleksi dengan cermat dan memenuhi syarat yang telah ditetapkan, seperti murid-murid dalam satu kelas yang rata-rata  memiliki umur dan kecerdasan yang sama. Pada permulaan tahun itu, Hamka adalah murid sekolah tersebut. Dia berpendapat bahwa Zainuddin Labay banyak mengambil metode dari Mesir dalam menyelenggarakan pendidikannya. Akan tetapi juga dapat diterima bahwa garis besar pengajaran di Madrasah ini juga memakai unsur pendidikan governement yang sudah diikuti beliau selama empat tahun, dan sejumlah besar muridnya juga masih mengikuti pendidikan pada pagi hari disekolah governement. Selain Hamka murid-murid beliau antara lain adalah, AR. St. Mansur, Duski Sanat dan adik beliau yaitu,Rahmah el-Yunusiyah.        Bahasa yang dipergunakan beliau dalam mengajar adalah bahasa Arab.
Meskipun bahasa pengantar yang dipergunakan bahasa Arab, namun materi pendidikan yang diterapkan meliputi pendidikan agama dan umum yang langsung diambil dari buku-buku Mesir dan Belanda. Dan untuk mata pelajaran bahasa Arab beliau tidak menggunakan buku atau kitab nahwu dan sharaf dalam bentuk sajak yang begitu rumit, tetapi beliau menggunakan buku yang sederhana seperti yang digunakan di sekolah dasar Mesir. Untuk mata pelajaran fiqh dan sejarah Islam yang dahulu tidak diperhatikan, beliau menyusun dalam bahasa melayu, sedang untuk kelas yang lebih tinggi dalam bahasa Arab yang sederhana. Sedangkan untuk kelas tertinggi beliau selalu menggunakan buku-buku yang diterbitkan di Kairo maupun Beirut.
Melalui pendidikan yang didirikannya, beliau mengharapkan dapat menciptakan out put yang bekualitas, tidak hanya ilmu agama yang menjadi tumpuan akhir cita-cita hidup seseorag akan tetapi ilmu umum lainnya juga. Out put seperti ini yang sangat diharapkan dan dibutuhkan umat dan bangsa ini untuk membangun peradaban dan mengejar ketertinggalannya selama ini. Dalam mengajarkan ilmu-ilmu agama, beliau lebih banyak mengambil metode Mesir. Akan tetapi dalam mengajarkan ilmu-ilmu umum, beliau cenderung mengambil gagasan pembaharuan pendidikan yang dikembangkan oleh Musthafa Kamil Pasya, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Kedua pendekatan ini terlihat jelas dari kitab yang digunakan lembaga ini. Disamping kitab yang dikarangnya, beliau juga menggunakan kitab Arab sebagaimana pendidikan Mesir untuk ilmu agama dan ilmu umum yang menggunakan literature Barat.
Selain melalui lembaga pendidikan formal yang didirikannya, beliau juga memanfaatkan majalah al-Munir sebagai media pendidikan agama Islam. Melalui berbagai tulisannya , beliau mencoba membuka wawasan umat Islam tentang universalitas ajaran Islam. Beliau bahkan tidak segan-segan mengeluarkan pendapat yang bertentangan dengan fatwa umat terdahulu, jika memang menurut pandangan beliau pendapat tersebut tidak lagi sesuai dengan ruh universal ajaran Islam. Dalam upaya ini, beliau seringkali mendapat kritikan dan tantangan dari para ulama tradisional. Beliau bahkan dituduh sebagai ulama yang sesat dan ulama Wahabi yang telah keluar dari mazhab Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.
Namun hal demikian tidak membuat beliau “patah semangat”, bahkan semakin mendorongnya untuk tetap kritis dan konsisten dengan ide-ide pembaharuannya. Oleh karena itu, tidak heran jika Steenbrink menilai ketokohannya sebagai sosok ulama yang memiliki kepribadian yang kokoh. Dan perhatian beliau terhadap pembaharuan pendidikan Islam sangat kuat. Hal ini terbukti dengan aktivitas kependidikan yang dilakukannya, mulai dengan mengajar di Surau Jembatan Besi sampai akhirnya beliau mendirikan sekolah yang beliau beri nama Diniyah School pada tahun 1915.