Pemikiran Zainuddin labay al yunusi
dalam pendidikan Diniyah Putra Padang
Panjang
Dalam
bidang pendidikan beliau termasuk orang pertama yang memperkenalkan sistem
sekolah yang baru. Dengan membuka sekolah guru Diniyah (1915) beliau
mempergunakan sistem berkelas dengan kurikulum yang lebih teratur. Beliau
mendirikan Diniyah School, yang merupakan madrasah sore untuk pendidikan agama
yang diorganisasikan berdasarkan sistem klasikal dan tidak mengikuti sistem
pengajaran tradisional yang individual. Begitu pula susunan pelajarannya
berbeda dengan yang lain, yaitu dimulai dengan pengetahuan dasar bahasa Arab
sebelum memulai membaca al-Qur’an.
Materi yang ditawarkan bukan hanya ilmu agama,
tetapi juga ilmu umum sebagaimana yang diajarkan dilembaga pendidikan governement,
seperti bahasa asing, ilmu bumi, sejarah dan matematika. Beliau juga
mengorganisir sebuah klub musik untuk murid-muridnya. Selan itu, murid-murid
Diniyah School pada umumnya diseleksi dengan cermat dan memenuhi syarat yang
telah ditetapkan, seperti murid-murid dalam satu kelas yang rata-rata memiliki umur dan kecerdasan yang sama. Pada
permulaan tahun itu, Hamka adalah murid sekolah tersebut. Dia berpendapat bahwa
Zainuddin Labay banyak mengambil metode dari Mesir dalam menyelenggarakan
pendidikannya. Akan tetapi juga dapat diterima bahwa garis besar pengajaran di
Madrasah ini juga memakai unsur pendidikan governement yang sudah diikuti
beliau selama empat tahun, dan sejumlah besar muridnya juga masih mengikuti
pendidikan pada pagi hari disekolah governement. Selain Hamka murid-murid
beliau antara lain adalah, AR. St. Mansur, Duski Sanat dan adik beliau
yaitu,Rahmah el-Yunusiyah. Bahasa
yang dipergunakan beliau dalam mengajar adalah bahasa Arab.
Meskipun
bahasa pengantar yang dipergunakan bahasa Arab, namun materi pendidikan yang
diterapkan meliputi pendidikan agama dan umum yang langsung diambil dari
buku-buku Mesir dan Belanda. Dan untuk mata pelajaran bahasa Arab beliau tidak
menggunakan buku atau kitab nahwu dan sharaf dalam bentuk sajak yang begitu
rumit, tetapi beliau menggunakan buku yang sederhana seperti yang digunakan di
sekolah dasar Mesir. Untuk mata pelajaran fiqh dan sejarah Islam yang dahulu
tidak diperhatikan, beliau menyusun dalam bahasa melayu, sedang untuk kelas
yang lebih tinggi dalam bahasa Arab yang sederhana. Sedangkan untuk kelas
tertinggi beliau selalu menggunakan buku-buku yang diterbitkan di Kairo maupun
Beirut.
Melalui pendidikan yang didirikannya, beliau mengharapkan dapat menciptakan out put yang bekualitas, tidak hanya ilmu agama yang menjadi tumpuan akhir cita-cita hidup seseorag akan tetapi ilmu umum lainnya juga. Out put seperti ini yang sangat diharapkan dan dibutuhkan umat dan bangsa ini untuk membangun peradaban dan mengejar ketertinggalannya selama ini. Dalam mengajarkan ilmu-ilmu agama, beliau lebih banyak mengambil metode Mesir. Akan tetapi dalam mengajarkan ilmu-ilmu umum, beliau cenderung mengambil gagasan pembaharuan pendidikan yang dikembangkan oleh Musthafa Kamil Pasya, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Kedua pendekatan ini terlihat jelas dari kitab yang digunakan lembaga ini. Disamping kitab yang dikarangnya, beliau juga menggunakan kitab Arab sebagaimana pendidikan Mesir untuk ilmu agama dan ilmu umum yang menggunakan literature Barat.
Melalui pendidikan yang didirikannya, beliau mengharapkan dapat menciptakan out put yang bekualitas, tidak hanya ilmu agama yang menjadi tumpuan akhir cita-cita hidup seseorag akan tetapi ilmu umum lainnya juga. Out put seperti ini yang sangat diharapkan dan dibutuhkan umat dan bangsa ini untuk membangun peradaban dan mengejar ketertinggalannya selama ini. Dalam mengajarkan ilmu-ilmu agama, beliau lebih banyak mengambil metode Mesir. Akan tetapi dalam mengajarkan ilmu-ilmu umum, beliau cenderung mengambil gagasan pembaharuan pendidikan yang dikembangkan oleh Musthafa Kamil Pasya, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Kedua pendekatan ini terlihat jelas dari kitab yang digunakan lembaga ini. Disamping kitab yang dikarangnya, beliau juga menggunakan kitab Arab sebagaimana pendidikan Mesir untuk ilmu agama dan ilmu umum yang menggunakan literature Barat.
Selain
melalui lembaga pendidikan formal yang didirikannya, beliau juga memanfaatkan
majalah al-Munir sebagai media pendidikan agama Islam. Melalui berbagai
tulisannya , beliau mencoba membuka wawasan umat Islam tentang universalitas
ajaran Islam. Beliau bahkan tidak segan-segan mengeluarkan pendapat yang
bertentangan dengan fatwa umat terdahulu, jika memang menurut pandangan beliau
pendapat tersebut tidak lagi sesuai dengan ruh universal ajaran Islam. Dalam
upaya ini, beliau seringkali mendapat kritikan dan tantangan dari para ulama
tradisional. Beliau bahkan dituduh sebagai ulama yang sesat dan ulama Wahabi
yang telah keluar dari mazhab Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.
Namun
hal demikian tidak membuat beliau “patah semangat”, bahkan semakin mendorongnya
untuk tetap kritis dan konsisten dengan ide-ide pembaharuannya. Oleh karena
itu, tidak heran jika Steenbrink menilai ketokohannya sebagai sosok ulama yang
memiliki kepribadian yang kokoh. Dan perhatian beliau terhadap pembaharuan
pendidikan Islam sangat kuat. Hal ini terbukti dengan aktivitas kependidikan
yang dilakukannya, mulai dengan mengajar di Surau Jembatan Besi sampai akhirnya
beliau mendirikan sekolah yang beliau beri nama Diniyah School pada tahun 1915.